UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan
keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih
memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang
teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan
material di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM
DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) yang telah beberapa
kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3566);
b. Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3984),
diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi
atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi
atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan
barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya.
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah
nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib
Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu
yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang ini.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu
1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun kalender.
9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian
dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak yang terutang adalah pajak
yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau
dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah
Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan
adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15. Surat ketetapan pajak adalah
surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat
untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda.
21. Surat Paksa adalah surat perintah
membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
22. Kredit Pajak untuk Pajak
Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan
pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi
dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan
pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan
yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha
untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian
kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
26. Bukti Permulaan
adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau
benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah
terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
27. Pemeriksaan
Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
28. Penanggung Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak
dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
29. Pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data
dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan
biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
30. Penelitian
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian
Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
31. Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
32. Penyidik adalah
pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
33. Surat Keputusan
Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat
Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
34. Surat Keputusan
Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak
atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
35. Putusan Banding
adalah putusan badan peradilan pajak
atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan Gugatan
adalah putusan badan peradilan pajak
atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
37. Putusan
Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau
oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari
badan peradilan pajak.
38. Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
39. Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan
bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal dikirim
adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan disampaikan secara langsung.
41. Tanggal diterima
adalah tanggal stempel pos pengiriman,
tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada
saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
2. Ketentuan Pasal
2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Setiap Wajib Pajak yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Setiap Wajib Pajak sebagai
Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan:
a. tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan
usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
(4) Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak
secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
(4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib
Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum
diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
(5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta
tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan
oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak
memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
b. Wajib Pajak badan
dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan
kegiatan usahanya di Indonesia; atau
d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(7) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok
Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi
atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap.
(8) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau
atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak.
(9) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap.
3. Di antara Pasal
2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2A
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3
(tiga) bulan kalender.
4. Ketentuan Pasal
3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi
Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(1a) Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri
Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan
mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan,
yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1b) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda
tangan elektronik atau digital, yang
semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang
tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(3) Batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20
(dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir
Tahun Pajak; atau
c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun
Pajak.
(3a) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
(3b) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata
cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3c) Batas waktu dan tata cara pelaporan atas
pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan
badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal
Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(5) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara
pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai
bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan
sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas waktu
perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.
(6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta
keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk
menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak
disampaikan apabila:
a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri
keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih
bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis;
atau
d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah
Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan
pajak.
(7a) Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak
disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak wajib
memberitahukan kepada Wajib Pajak.
(8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan
Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan
Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
(2) Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus
ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa
dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan,
surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
(4) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang
diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(4a) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak.
(4b) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas,
sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
(5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat
Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6. Ketentuan Pasal
6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung
oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal
penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti
penerimaan.
(2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat
dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara
lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat
untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat
Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
7. Ketentuan Pasal
7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Apabila Surat Pemberitahuan
tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
(2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal
dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai
warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan
kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan
kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran
lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal
8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Wajib Pajak dengan kemauan
sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan
menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan
Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum
daluwarsa penetapan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri
Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,
kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian
Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah
pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Walaupun telah
dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak
akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah
pajak yang kurang dibayar.
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah
melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi
lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi
lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih
kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses
pemeriksaan tetap dilanjutkan.
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai
akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi
oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
(6) Wajib Pajak
dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal
Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali
Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak
sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang
telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan
tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan
pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
9. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1) Menteri Keuangan menentukan
tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu
saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima
belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang
berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas
sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di
daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib
Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
10. Ketentuan Pasal
10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib membayar atau
menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas
negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh
Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah
mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan
pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 11 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C,
atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib
Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu utang pajak tersebut.
(1a) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat
adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada
Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak,
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(2) Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a)
dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(3) Apabila
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu)
bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat
dilakukan pengembalian kelebihan.
(4) Tata cara
penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
12. Ketentuan Pasal
12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan
bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah
pajak yang terutang.
13. Ketentuan Pasal 13 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat (6) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah
ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau
tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya
pajak yang terutang; atau
e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
(3) Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan
yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan
yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang
disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(4) Besarnya pajak yang terutang yang
diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
(5) Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar
48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(6) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
14. Di antara Pasal
13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 13A
Wajib
Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan
tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib
melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar.
15. Ketentuan Pasal
14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Tagihan Pajak apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi
tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya; atau
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf
b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak
tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
g. Pengusaha
Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
(4) Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f
masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
(5) Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari
tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
16. Ketentuan Pasal
15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak
yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak
atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
(4) Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak
setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(5) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
17. Ketentuan Pasal
16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena
jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak,
Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima,
harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
(4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal
yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
18. Ketentuan Pasal
17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan
pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
(2) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat
diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru
ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan
pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
19. Ketentuan Pasal
17A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan
pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang,
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran
pajak.
(2) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
20. Ketentuan Pasal 17B
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17B
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D,
harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
surat permohonan diterima secara lengkap.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan
bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama
1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak
diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(4) Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak
dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak
dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
21. Ketentuan Pasal
17C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17C
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tepat waktu dalam
menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. tidak mempunyai
tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik
atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian
selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
(3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak.
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
(6) Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak apabila:
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan
tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
b. terlambat menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak
berturut-turut;
c. terlambat menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak
dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(7) Tata cara penetapan
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
22. Di antara Pasal
17C dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17D dan
Pasal 17E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal
17D
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib
Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih
bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah
lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
(3) Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah
penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak.
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Pasal 17E
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian
Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean
dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
23. Ketentuan
Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
(2) Dihapus.
24. Ketentuan Pasal
19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada
saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur
atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara
pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari
jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak
tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari
saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan
tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
25. Ketentuan Pasal
20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
20
(1) Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar,
yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a)
dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan
apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang
dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan
perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda
bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau
memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang
dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan
dibubarkan oleh negara; atau
e. terjadi penyitaan
atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda
kepailitan.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
26. Ketentuan Pasal 21
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
21
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang
milik Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi
segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya
disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau
barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang
hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan
pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan
yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit,
pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum
menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5
(lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah.
(5) Perhitungan jangka waktu hak
mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar
diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau
persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut
dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
27. Ketentuan Pasal 22 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Hak untuk melakukan penagihan
pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa
setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
(2) Daluwarsa penagihan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak
baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d. dilakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan.
28. Ketentuan Pasal 23 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Dihapus.
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,
selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan
yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
hanya
dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
(3) Dihapus.
29. Ketentuan Pasal
24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
24
Tata cara
penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
30. Ketentuan Pasal
25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
25
(1) Wajib Pajak dapat
mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal
pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat
ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan
merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang
diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima
surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan
bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat
keberatan.
(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk
keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,
penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu
pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas
jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Keberatan.
(8) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(9) Dalam hal keberatan Wajib
Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan.
(10) Dalam hal Wajib
Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar
50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.
31. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan
diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas
keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(4) Dalam hal Wajib Pajak
mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus
dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5) Apabila jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
32. Di antara Pasal 26 dan
Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26A
(1) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak
kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan
mengenai keberatannya.
(3) Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap dapat diselesaikan.
(4) Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan,
catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang
tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat
pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan,
data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam
penyelesaian keberatannya.
33. Ketentuan Pasal 27 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
(2) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling
lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri
dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
(4) Dihapus.
(4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk
keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat
Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
(5) Dihapus.
(5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan
banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3),
ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada
saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding.
(5b) Jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan
Banding diterbitkan.
(5d) Dalam hal permohonan banding ditolak
atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan.
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.
34. Ketentuan Pasal
27A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
(1) Apabila pengajuan keberatan, permohonan
banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung
sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan
Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal
penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(1a) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak
yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan
pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
atau
c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak
tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai
akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib
Pajak.
(3) Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
35. Ketentuan Pasal 28 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib
menyelenggarakan pembukuan.
(2) Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib
melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus
diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya.
(4) Pembukuan atau pencatatan harus
diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing
yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat
asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau
tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas
catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan
mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat
izin Menteri Keuangan.
(9) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan
bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang
dikenai pajak yang bersifat final.
(10) Dihapus.
(11) Buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara
program aplikasi on-line wajib
disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau
tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak
badan.
(12) Bentuk dan tata cara pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
36. Ketentuan Pasal
29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa
harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(3) Wajib Pajak
yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan
dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan
keterangan lain yang diperlukan.
(3a) Buku, catatan, dan dokumen, serta
data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan
disampaikan.
(3b) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya
penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara
jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat
oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan
itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
37. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
Terhadap
Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan
efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan
pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak
menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B; atau
b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis
risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.
38. Ketentuan Pasal 30 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang
melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak
dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.
(2) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
39. Ketentuan Pasal 31 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Tata cara pemeriksaan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu
pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib
Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu
yang ditentukan.
(3) Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib
Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur
Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib
Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
40. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Dalam
menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang
dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan
yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
d. badan dalam likuidasi
oleh likuidator;
e. suatu warisan yang
belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang
mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada
dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
(2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak
yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur
Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk
dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk
seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan
kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Termasuk dalam
pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang
yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
41. Ketentuan Pasal 33 dihapus.
Pasal 33
Dihapus.
42. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 34
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada
pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh
Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
atau
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan
untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan
berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan
keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak
kepada pihak yang ditunjuk.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan
dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum
Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin
tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti
tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau
nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
43. Ketentuan Pasal 35 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Apabila dalam menjalankan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau
bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi,
dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang
dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak,
pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan,
penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban
merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan
ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
(3) Tata cara permintaan keterangan atau bukti
dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
44. Di antara Pasal 35 dan Pasal
36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
(1) Setiap instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang
menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
45. Ketentuan Pasal 36 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
(1) Direktur Jenderal Pajak karena
jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari
hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
(1a) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c
hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
(1b) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali.
(1c) Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan
atas permohonan yang diajukan.
(1d) Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dianggap dikabulkan.
(1e) Apabila diminta oleh Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c).
(2) Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a),
ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
46. Ketentuan Pasal 36A
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1) Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau
dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya
dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal
Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan
apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya
terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk
menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(4) Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan
diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran,
atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.
(5) Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik
secara perdata maupun pidana, apabila
dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
47. Di antara Pasal 36A dan Pasal
37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36B, Pasal 36C, dan Pasal 36D yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36B
(1) Menteri Keuangan berkewajiban
untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib
mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Pengawasan pelaksanaan dan penampungan
pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan
oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36C
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal
36D
(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
48. Di antara Pasal
37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
37A
(1) Wajib Pajak
yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar
menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan
pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan
diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun
setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi
atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat
data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan
Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.
49. Ketentuan Pasal
38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan
paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
50. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Setiap orang
yang dengan sengaja:
a. tidak
mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
c. tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk
dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan
buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on- line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(11); atau
i. tidak menyetorkan
pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk
melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak
atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
51. Di antara Pasal
39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
52. Ketentuan Pasal
41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Pejabat yang karena kealpaanya
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang
kerahasiaannya dilanggar.
53. Ketentuan Pasal 41A diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41A
Setiap
orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
54. Ketentuan Pasal 41B diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta
rupiah).
55. Di antara Pasal 41B dan Pasal
42 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 41C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41C
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan
tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh)
bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak
memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja
menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian
kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
56. Ketentuan Pasal
43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau
pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A
dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan,
atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
57. Sebelum Pasal 44
dalam BAB IX disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi,
data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan
sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di
bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri
Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen
Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
(3) Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur
tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib
diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
(4) Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
58. Ketentuan Pasal
44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak
pidana di bidang perpajakan.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan
atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan
bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(4) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat
penegak hukum lain.
59. Ketentuan Pasal
44B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44B
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib
Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang
tidak seharusnya dikembalikan.
Pasal
II
1. Terhadap semua hak dan
kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum
diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama
pada akhir Tahun Pajak 2013.
3. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ANDI
MATTALATA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar