UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN
KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR
7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang
semakin
meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang
netral,
sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan
lebih
dapat menciptakan kepastian hukum serta
transparansi
perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak
Penghasilan;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam
huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983
tentang Pajak Penghasilan;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4740);
3.
Undang-Undang ...
-
2 -
3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN.
Pasal
I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah
dengan
Undang-Undang:
a.
Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3459);
b.
Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3567);
c.
Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3985);
diubah
...
-
3 -
diubah
sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah
sehingga
rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana
tercantum
dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1
Undang-Undang
ini.
2.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan
di
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat
(1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
2
(1)
Yang menjadi subjek pajak adalah:
a.
1. orang pribadi;
2.
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan
yang berhak;
b.
badan; dan
c.
bentuk usaha tetap.
(1a)
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang
perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek
pajak
badan.
(2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam
negeri
dan subjek pajak luar negeri.
(3)
Subjek pajak dalam negeri adalah:
a.
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari
183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu
12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia;
b.
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah
yang memenuhi kriteria:
1.
pembentukannya berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan;
2.
pembiayaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Daerah;
3.
penerimaannya ...
-
4 -
3.
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4.
pembukuannya diperiksa oleh aparat
pengawasan
fungsional negara; dan
c.
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan
yang berhak.
(4)
Subjek pajak luar negeri adalah:
a.
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan
di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap
di Indonesia; dan
b.
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan
di Indonesia, yang dapat menerima
atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal
di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan
di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a.
tempat kedudukan manajemen;
b.
cabang perusahaan;
c.
kantor perwakilan;
d.
gedung kantor;
e.
pabrik;
f.
bengkel;
g.
gudang;
h.
ruang untuk promosi dan penjualan;
i.
pertambangan dan penggalian sumber alam;
j.
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k.
perikanan, ...
-
5 -
k.
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
atau
kehutanan;
l.
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m.
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai
atau
orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
(enam
puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas)
bulan;
n.
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya
tidak bebas;
o.
agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang
tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia
yang menerima premi asuransi atau
menanggung
risiko di Indonesia; dan
p.
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis
yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara
transaksi elektronik untuk
menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
(6)
Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan
yang sebenarnya.
3.
Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat
(2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
3
(1)
Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 2 adalah:
a.
kantor perwakilan negara asing;
b.
pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat
atau
pejabat-pejabat lain dari negara asing dan
orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka
yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama
mereka
dengan syarat bukan warga negara
Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh
penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya
tersebut serta negara bersangkutan
memberikan
perlakuan timbal balik;
c.
organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1.
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
dan
2.
tidak ...
-
6 -
2.
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain
untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain
memberikan pinjaman kepada pemerintah
yang
dananya berasal dari iuran para anggota;
d.
pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
sebagaimana
dimaksud pada huruf c, dengan
syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan
usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain
untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2)
Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek
pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4.
Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l,
dan
Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf,
yakni
huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat
(3)
huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah,
huruf
j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l,
huruf
m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
4
(1)
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
a.
penggantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk
gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain
dalam Undang-undang ini;
b.
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,
dan
penghargaan;
c.
laba usaha;
d.
keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan
harta termasuk:
1.
keuntungan karena pengalihan harta kepada
perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya
sebagai
pengganti saham atau penyertaan
modal;
2.
keuntungan ...
-
7 -
2.
keuntungan karena pengalihan harta kepada
pemegang
saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh
perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya;
3.
keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan,
pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan
usaha, atau reorganisasi
dengan
nama dan dalam bentuk apa pun;
4.
keuntungan karena pengalihan harta berupa
hibah,
bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan
lurus satu derajat dan badan
keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial
termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan
Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihakpihak
yang
bersangkutan; dan
5.
keuntungan karena penjualan atau pengalihan
sebagian
atau seluruh hak penambangan,
tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
e.
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan
sebagai biaya dan pembayaran
tambahan
pengembalian pajak;
f.
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
karena
jaminan pengembalian utang;
g.
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk
dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h.
royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan
harta;
j.
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali
sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan
Peraturan Pemerintah;
l.
keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m.
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n.
premi asuransi;
o.
iuran …
-
8 -
o.
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
p.
tambahan kekayaan neto yang berasal dari
penghasilan
yang belum dikenakan pajak;
q.
penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r.
imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang
yang mengatur mengenai
ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
s.
surplus Bank Indonesia.
(2)
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat
final:
a.
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
lainnya,
bunga obligasi dan surat utang negara,
dan
bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.
penghasilan berupa hadiah undian;
c.
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa,
dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya
yang diterima oleh perusahaan modal
ventura;
d.
penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa
tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi,
usaha
real
estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan;
dan
e.
penghasilan tertentu lainnya,
yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(3)
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a.
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang
diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga
amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah
dan yang diterima oleh penerima
zakat
yang berhak atau sumbangan keagamaan
yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui
di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah
dan yang diterima oleh penerima
sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya
diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;
dan
2.
harta …
-
9 -
2.
harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah
dalam garis keturunan lurus satu
derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan,
badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan
kecil, yang ketentuannya diatur dengan
atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak
yang bersangkutan;
b.
warisan;
c.
harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1)
huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti
penyertaan modal;
d.
penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan
oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan
pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan
norma penghitungan khusus
(deemed
profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15;
e.
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang
pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f.
dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh
perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam
negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan
modal
pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1.
dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan;
dan
2.
bagi perseroan terbatas, badan usaha milik
negara
dan badan usaha milik daerah yang
menerima
dividen, kepemilikan saham pada
badan
yang memberikan dividen paling rendah
25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah modal
yang
disetor;
g.
iuran …
-
10 -
g.
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang
pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan,
baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun
pegawai;
h.
penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana
pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g,
dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
i.
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota
dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi
atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk
pemegang
unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
j.
dihapus;
k.
penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan
modal ventura berupa bagian laba dari
badan
pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan
syarat badan pasangan usaha tersebut:
1.
merupakan perusahaan mikro, kecil,
menengah,
atau yang menjalankan kegiatan
dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan
atau
berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
dan
2.
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
di
Indonesia;
l.
beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
m.
sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga
nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan,
yang telah terdaftar pada instansi
yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan
dan/atau penelitian dan
pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4
(empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
dan
n.
bantuan …
-
11 -
n.
bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak
tertentu, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
5.
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan
huruf
h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i
sampai
dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal
6
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
6
(1)
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam
negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk:
a.
biaya yang secara langsung atau tidak langsung
berkaitan
dengan kegiatan usaha, antara lain:
1.
biaya pembelian bahan;
2.
biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk
upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan
dalam
bentuk uang;
3.
bunga, sewa, dan royalti;
4.
biaya perjalanan;
5.
biaya pengolahan limbah;
6.
premi asuransi;
7.
biaya promosi dan penjualan yang diatur
dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
8.
biaya administrasi; dan
9.
pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b.
penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A;
c.
iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
d.
kerugian …
-
12 -
d.
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang
dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau
yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,
dan
memelihara penghasilan;
e.
kerugian selisih kurs mata uang asing;
f.
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang
dilakukan di Indonesia;
g.
biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h.
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dengan
syarat:
1.
telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan
laba
rugi komersial;
2.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang
tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal
Pajak; dan
3.
telah diserahkan perkara penagihannya
kepada
Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah
yang menangani piutang negara;
atau
adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan
piutang/pembebasan utang
antara
kreditur dan debitur yang
bersangkutan;
atau telah dipublikasikan dalam
penerbitan
umum atau khusus; atau adanya
pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;
4.
syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3
tidak
berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih
debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i.
sumbangan dalam rangka penanggulangan
bencana
nasional yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan
Pemerintah;
j.
sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan
yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k.
biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l.
sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya
diatur
dengan Peraturan Pemerintah; dan
m.
sumbangan …
-
13 -
m.
sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2)
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian,
kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai
dengan
5 (lima) tahun.
(3)
Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri
diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena
Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
6.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
7
(1)
Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan
paling
sedikit sebesar:
a.
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus
empat
puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak
orang
pribadi;
b.
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
ribu
rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c.
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus
empat
puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang
isteri
yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan
suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
8 ayat (1); dan
d.
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
ribu
rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam
garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga)
orang untuk setiap keluarga.
(2)
Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
awal
bagian tahun pajak.
(3)
Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan
Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan
dengan
Dewan Perwakilan Rakyat.
7.
Ketentuan …
-
14 -
7.
Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan
Penjelasan
ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
8
(1)
Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang
telah
kawin pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian
tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang
berasal
dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat
(2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya,
kecuali penghasilan tersebut semata-mata
diterima
atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang
telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha
atau pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga
lainnya.
(2)
Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah
apabila:
a.
suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan
putusan
hakim;
b.
dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
berdasarkan
perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan;
atau
c.
dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk
menjalankan
hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.
(3)
Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud
pada
ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak
berdasarkan
penggabungan penghasilan neto suamiisteri
dan
besarnya pajak yang harus dilunasi oleh
masing-masing
suami-isteri dihitung sesuai dengan
perbandingan
penghasilan neto mereka.
(4)
Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan
penghasilan
orang tuanya.
8.
Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta
Penjelasan
huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
9 ...
-
15 -
Pasal
9
(1)
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
tidak
boleh dikurangkan:
a.
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun
seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan
oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
b.
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota;
c.
pembentukan atau pemupukan dana cadangan,
kecuali:
1.
cadangan piutang tak tertagih untuk usaha
bank
dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan
pembiayaan konsumen, dan
perusahaan
anjak piutang;
2.
cadangan untuk usaha asuransi termasuk
cadangan
bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
3.
cadangan penjaminan untuk Lembaga
Penjamin
Simpanan;
4.
cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan;
5.
cadangan biaya penanaman kembali untuk
usaha
kehutanan; dan
6.
cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan
tempat
pembuangan limbah industri untuk
usaha
pengolahan limbah industri,
yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan
atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d.
premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa,
yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali
jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi
tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib
Pajak
yang bersangkutan;
e.
penggantian ...
-
16 -
e.
penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan
atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura
dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura
dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan yang
diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
f.
jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
kepada
pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai
hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
g.
harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
dan
warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat
(3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf
i sampai dengan huruf m serta zakat yang
diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah
atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,
yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan
Pemerintah;
h.
Pajak Penghasilan;
i.
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan
pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi
tanggungannya;
j.
gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
firma,
atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak
terbagi atas saham;
k.
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan
serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan
dengan pelaksanaan perundangundangan
di
bidang perpajakan.
(2)
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara
penghasilan yang mempunyai masa
manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui
penyusutan atau amortisasi sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
9.
Ketentuan ...
-
17 -
9.
Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan
ayat
(1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11
berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
11
(1)
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian,
pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan
harta
berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,
hak
guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,
menagih,
dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam
bagian-bagian
yang sama besar selama masa manfaat
yang
telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2)
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selain bangunan,
dapat
juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun
selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku,
dan
pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan
sekaligus, dengan syarat dilakukan secara
taat
asas.
(3)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran,
kecuali untuk harta yang masih dalam
proses
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya
pengerjaan harta tersebut.
(4)
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib
Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai
pada
bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan
atau
pada bulan harta yang bersangkutan mulai
menghasilkan.
(5)
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva
berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
19, maka dasar penyusutan atas harta adalah
nilai
setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut.
(6)
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
penyusutan
harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok ...
-
18 -
Tarif Penyusutan sebagaimana
dimaksud dalam
Kelompok Harta
Berwujud
Masa
Manfaat
Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10%
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta
berwujud
yang dimiliki dan digunakan dalam bidang
usaha
tertentu diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(8)
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
atau
penarikan harta karena sebab lainnya, maka
jumlah
nilai sisa buku harta tersebut dibebankan
sebagai
kerugian dan jumlah harga jual atau
penggantian
asuransinya yang diterima atau diperoleh
dibukukan
sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
penarikan
harta tersebut.
(9)
Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima
jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa
kemudian,
maka dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak
jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud
pada
ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
tersebut.
(10)
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan
huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah
nilai
sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta
berwujud
sesuai dengan masa manfaat sebagaimana
dimaksud
pada ayat (6) diatur dengan Peraturan
Menteri
Keuangan.
10.
Ketentuan ...
-
19 -
10.
Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah
serta
di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni
ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:
Pasal
11A
(1)
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta
tak
berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan
hak guna bangunan, hak guna usaha,
hak
pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai
masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang
dipergunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara
penghasilan dilakukan dalam bagianbagian
yang
sama besar atau dalam bagian-bagian yang
menurun
selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara
menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran
tersebut
atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa
manfaat
diamortisasi sekaligus dengan syarat
dilakukan
secara taat asas.
(1a)
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran,
kecuali untuk bidang usaha tertentu yang
diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(2)
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
amortisasi
ditetapkan sebagai berikut:
Tarif Amortisasi berdasarkan
Kelompok Harta metode
Tak Berwujud
Masa Manfaat
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
(3)
Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya
perluasan
modal suatu perusahaan dibebankan pada
tahun
terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai
dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
(4)
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
dan
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat
lebih
dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak
dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan
metode
satuan produksi.
(5)
Amortisasi …
-
20 -
(5)
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan
selain yang dimaksud pada ayat (4), hak
pengusahaan
hutan, dan hak pengusahaan sumber
alam
serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa
manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan
menggunakan
metode satuan produksi setinggitingginya
20%
(dua puluh persen) setahun.
(6)
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun,
dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai
dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
(7)
Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau
hak-hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(4),
dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hakhak
tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
yang
diterima sebagai penggantian merupakan
penghasilan
pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8)
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan
huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka
jumlah
nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang
mengalihkan.
11.
Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7)
serta
Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi
sebagai
berikut:
Pasal
14
(1)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk
menentukan
penghasilan neto, dibuat dan
disempurnakan
terus-menerus serta diterbitkan oleh
Direktur
Jenderal Pajak.
(2)
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha
atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya
dalam
1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat
miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), dengan syarat
memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak
yang bersangkutan.
(3)
Wajib ...
-
21 -
(3)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
menghitung
penghasilan netonya dengan
menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
wajib
menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(4)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk
menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
atau
pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
tidak
atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan
atau pembukuan atau tidak
memperlihatkan
pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya
maka penghasilan netonya dihitung
berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dan
peredaran brutonya dihitung dengan cara lain
yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri
Keuangan.
(6)
Dihapus.
(7)
Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada
ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
12.
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
Penjelasan
ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi
sebagai
berikut:
Pasal
16
(1)
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif
bagi
Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun
pajak
dihitung dengan cara mengurangkan dari
penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat
(1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1),
serta
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf
g.
(2)
Penghasilan ...
-
22 -
(2)
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
dan
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dihitung
dengan menggunakan norma penghitungan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk
Wajib
Pajak orang pribadi dikurangi dengan
Penghasilan
Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 7 ayat (1).
(3)
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri
yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam
suatu
tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan
ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat
(3),
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1)
huruf
c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(4)
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam
negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian
tahun
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A
ayat
(6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang
diterima
atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.
13.
Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
Penjelasan
ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di
antara
ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni
ayat
(2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17
berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
17
(1)
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak
bagi:
a.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
sebagai
berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas ...
-
23 -
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Pajak
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)
b.
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha
tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
delapan
persen).
(2)
Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf
a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%
(dua
puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2a)
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
menjadi
25% (dua puluh lima persen) yang mulai
berlaku
sejak tahun pajak 2010.
(2b)
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan
terbuka yang paling sedikit 40% (empat
puluh
persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
memenuhi
persyaratan tertentu lainnya dapat
memperoleh
tarif sebesar 5% (lima persen) lebih
rendah
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau
berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
(2c)
Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen
yang
dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi
dalam
negeri adalah paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh
persen) dan bersifat final.
(2d)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
(3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan
Keputusan
Menteri Keuangan.
(4)
Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena
Pajak
dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah
penuh.
(5)
Besarnya …
-
24 -
(5)
Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
pribadi
dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian
tahun
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat
(4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian
tahun
pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam
puluh)
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1
(satu)
tahun pajak.
(6)
Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana
dimaksud
pada ayat (5), tiap bulan yang penuh
dihitung
30 (tiga puluh) hari.
(7)
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif
pajak
tersendiri atas penghasilan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak
melebihi
tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut
pada
ayat (1).
14.
Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan
ayat
(1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4)
disisipkan
4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan
ayat
(3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1)
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
keputusan
mengenai besarnya perbandingan antara
utang
dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2)
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri
atas
penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri
selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa
efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam
negeri
tersebut paling rendah 50% (lima puluh
persen)
dari jumlah saham yang disetor; atau
b.
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam
negeri
lainnya memiliki penyertaan modal paling
rendah
50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham
yang disetor.
(3)
Direktur …
-
25 -
(3)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan
kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan
serta menentukan utang sebagai modal
untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan
istimewa dengan menggunakan metode
perbandingan
harga antara pihak yang independen,
metode
harga penjualan kembali, metode biaya-plus,
atau
metode lainnya.
(3a)
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
perjanjian
dengan Wajib Pajak dan bekerja sama
dengan
pihak otoritas pajak negara lain untuk
menentukan
harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu
periode
tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu
tersebut
berakhir.
(3b)
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau
aktiva
perusahaan melalui pihak lain atau badan yang
dibentuk
untuk maksud demikian (special purpose
company),
dapat ditetapkan sebagai pihak yang
sebenarnya
melakukan pembelian tersebut sepanjang
Wajib
Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan
istimewa
dengan pihak lain atau badan tersebut dan
terdapat
ketidakwajaran penetapan harga.
(3c)
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
(conduit
company atau special purpose company)
yang
didirikan
atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan
perlindungan pajak (tax haven country)
yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau
bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai
penjualan atau pengalihan saham badan yang
didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk
usaha tetap di Indonesia.
(3d)
Besarnya …
-
26 -
(3d)
Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak
orang
pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang
memiliki
hubungan istimewa dengan perusahaan lain
yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di
Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal
pemberi
kerja mengalihkan seluruh atau sebagian
penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
tersebut
ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran
lainnya
yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia
tersebut.
(3e)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut
dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(4)
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f,
dan
Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung
atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua
puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada
dua
Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara
dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir;
b.
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau
dua
atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan
yang sama baik langsung maupun
tidak
langsung; atau
c.
terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun
semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau
ke samping satu derajat.
(5)
Dihapus.
15.
Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19
berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
19 …
-
27 -
Pasal
19
(1)
Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan
tentang
penilaian kembali aktiva dan faktor
penyesuaian
apabila terjadi ketidaksesuaian antara
unsur-unsur
biaya dengan penghasilan karena
perkembangan
harga.
(2)
Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) diterapkan tarif pajak
tersendiri
dengan Peraturan Menteri Keuangan
sepanjang
tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
16.
Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat
(8)
diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1
(satu)
ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi
sebagai
berikut:
Pasal
21
(1)
Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan
dalam bentuk apa pun yang diterima atau
diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib
dilakukan
oleh:
a.
pemberi kerja yang membayar gaji, upah,
honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b.
bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah,
honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain
sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan;
c.
dana pensiun atau badan lain yang membayarkan
uang
pensiun dan pembayaran lain dengan nama
apa
pun dalam rangka pensiun;
d.
badan yang membayar honorarium atau
pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan
dengan
jasa termasuk jasa tenaga ahli yang
melakukan
pekerjaan bebas; dan
e.
penyelenggara kegiatan yang melakukan
pembayaran
sehubungan dengan pelaksanaan
suatu
kegiatan.
(2)
Tidak …
-
28 -
(2)
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib
melakukan
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara
asing
dan organisasi-organisasi internasional
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(3)
Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang
dipotong
pajak untuk setiap bulan adalah jumlah
penghasilan
bruto setelah dikurangi dengan biaya
jabatan
atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan
dengan
Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun,
dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4)
Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai
tidak
tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah
penghasilan
bruto setelah dikurangi bagian
penghasilan
yang tidak dikenakan pemotongan yang
besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(5)
Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) adalah tarif pajak
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
a,
kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan
Pemerintah.
(5a)
Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20%
(dua
puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
Pokok
Wajib Pajak.
(6)
Dihapus.
(7)
Dihapus.
(8)
Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan
pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan
dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan
atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
17.
Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta
ditambah
1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22
berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
22 …
-
29 -
Pasal
22
(1)
Menteri Keuangan dapat menetapkan:
a.
bendahara pemerintah untuk memungut pajak
sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan
barang;
b.
badan-badan tertentu untuk memungut pajak
dari
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di
bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
dan
c.
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut
pajak
dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong
sangat mewah.
(2)
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat,
dan
besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan
Menteri Keuangan.
(3)
Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%
(seratus
persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap
Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
Pokok
Wajib Pajak.
18.
Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c
diubah,
ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah
1
(satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan
ayat
(2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga
Pasal
23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
23
(1)
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan
dalam bentuk apa pun yang dibayarkan,
disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak
badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha
tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a.
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
atas:
1.
dividen …
-
30 -
1.
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat
(1) huruf g;
2.
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat
(1) huruf f;
3.
royalti; dan
4.
hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya
selain
yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1)
huruf e;
b.
dihapus;
c.
sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1.
sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan
lain sehubungan dengan
penggunaan
harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
4 ayat (2); dan
2.
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 21.
(1a)
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau
memperoleh
penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
besarnya
tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
(seratus
persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1).
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2
diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(3)
Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
memotong
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
tidak dilakukan atas:
a.
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
bank;
b.
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan
dengan
sewa guna usaha dengan hak opsi;
c.
dividen …
-
31 -
c.
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat
(3) huruf f dan dividen yang diterima oleh
orang
pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17
ayat (2c);
d.
dihapus;
e.
bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat
(3) huruf i;
f.
sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi
kepada anggotanya;
g.
dihapus; dan
h.
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
badan
usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai
penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
19.
Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga
Pasal
24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
24
(1)
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap
pajak yang terutang berdasarkan Undangundang
ini
dalam tahun pajak yang sama.
(2)
Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) adalah sebesar pajak penghasilan yang
dibayar
atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
melebihi
penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan
Undang-undang ini.
(3)
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
dikreditkan,
sumber penghasilan ditentukan sebagai
berikut:
a.
penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya
serta
keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas
lainnya adalah negara tempat badan
yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
didirikan
atau bertempat kedudukan;
b.
penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
sehubungan
dengan penggunaan harta gerak
adalah
negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani
bunga, royalti, atau sewa tersebut
bertempat
kedudukan atau berada;
c.
penghasilan …
-
32 -
c.
penghasilan berupa sewa sehubungan dengan
penggunaan
harta tak gerak adalah negara tempat
harta
tersebut terletak;
d.
penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan
jasa,
pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat
pihak yang membayar atau dibebani
imbalan
tersebut bertempat kedudukan atau
berada;
e.
penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara
tempat
bentuk usaha tetap tersebut menjalankan
usaha
atau melakukan kegiatan;
f.
penghasilan dari pengalihan sebagian atau
seluruh
hak penambangan atau tanda turut serta
dalam
pembiayaan atau permodalan dalam
perusahaan
pertambangan adalah negara tempat
lokasi
penambangan berada;
g.
keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah
negara
tempat harta tetap berada; dan
h.
keuntungan karena pengalihan harta yang
menjadi
bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah
negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4)
Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menggunakan
prinsip
yang sama dengan prinsip yang dimaksud
pada
ayat tersebut.
(5)
Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan
ternyata kemudian dikurangkan atau
dikembalikan,
maka pajak yang terutang menurut
Undang-undang
ini harus ditambah dengan jumlah
tersebut
pada tahun pengurangan atau pengembalian
itu
dilakukan.
(6)
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak
atas
penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau
berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
20.
Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat
(7),
dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara
ayat
(8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a)
sehingga
Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
25 ...
-
33 -
Pasal
25
(1)
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi
dengan:
a.
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta
Pajak
Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 22; dan
b.
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar
negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 24,
dibagi
12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
bagian
tahun pajak.
(2)
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
oleh
Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan
sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sama
dengan
besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
tahun
pajak yang lalu.
(3)
Dihapus.
(4)
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
ketetapan
pajak untuk tahun pajak yang lalu,
besarnya
angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan
surat ketetapan pajak tersebut dan
berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan
surat ketetapan pajak.
(5)
Dihapus.
(6)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun
pajak
berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
a.
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b.
Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak
teratur;
c.
Surat …
-
34 -
c.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun
yang lalu disampaikan setelah lewat batas
waktu
yang ditentukan;
d.
Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak
Penghasilan;
e.
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar
dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f.
terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan
Wajib
Pajak.
(7)
Menteri Keuangan menetapkan penghitungan
besarnya
angsuran pajak bagi:
a.
Wajib Pajak baru;
b.
bank, badan usaha milik negara, badan usaha
milik
daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan
Wajib
Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan harus membuat
laporan
keuangan berkala; dan
c.
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
dengan
tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh
puluh
lima persen) dari peredaran bruto.
(8)
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak
memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia
21
(dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri
wajib
membayar pajak yang ketentuannya diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
(8a)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.
(9)
Dihapus.
21.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua)
huruf,
yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan
ayat
(5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1
(satu)
ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat
(3)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26
berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
26 …
-
35 -
Pasal
26
(1)
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama
dan
dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan,
disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap
di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh
persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a.
dividen;
b.
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan
dengan jaminan pengembalian
utang;
c.
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
dengan
penggunaan harta;
d.
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan;
f.
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g.
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
dan/atau
h.
keuntungan karena pembebasan utang.
(1a)
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain
yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
usaha
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah negara
tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
luar
negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan
tersebut (beneficial owner).
(2)
Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta
di
Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(2),
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
premi
asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi
luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh
persen)
dari perkiraan penghasilan neto.
(2a)
Atas …
-
36 -
(2a)
Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(3c)
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari
perkiraan penghasilan neto.
(3)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan
Menteri Keuangan.
(4)
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak
sebesar
20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan
tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia, yang
ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(5)
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final,
kecuali:
a.
pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf
c; dan
b.
pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh
orang pribadi atau badan luar negeri
yang
berubah status menjadi Wajib Pajak dalam
negeri
atau bentuk usaha tetap.
22.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
29
Apabila
pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak
ternyata
lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran
pajak
yang terutang harus dilunasi sebelum Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
23.
Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
31A …
-
37 -
Pasal
31A
(1)
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah
tertentu
yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala
nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan
dalam
bentuk:
a.
pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30%
(tiga
puluh persen) dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b.
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c.
kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak
lebih
dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d.
pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
10%
(sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
perjanjian
perpajakan yang berlaku menetapkan
lebih
rendah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha
tertentu
dan/atau daerah-daerah tertentu yang
mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional serta
pemberian
fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24.
Pasal 31B dihapus.
25.
Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C
berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
31C
(1)
Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi
dalam
negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
dipotong
oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan
80%
untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk
Pemerintah
Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2)
Dihapus.
26.
Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni
Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
31D ...
-
38 -
Pasal
31D
Ketentuan
mengenai perpajakan bagi bidang usaha
pertambangan
minyak dan gas bumi, bidang usaha panas
bumi,
bidang usaha pertambangan umum termasuk
batubara,
dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan
atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal
31E
(1)
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
bruto
sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar
rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
dan
ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena
Pajak
dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
(2)
Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan
Peraturan
Menteri Keuangan.
27.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
32
Tata
cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan
dengan
pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai
dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor
28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
28.
Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni
Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
32B ...
-
39 -
Pasal
32B
Ketentuan
mengenai pengenaan pajak atas bunga atau
diskonto
Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain
berdasarkan
perjanjian perlakuan timbal balik dengan
negara
lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
35
Hal-hal
yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang
ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
II
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1.
Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni
2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan
ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak
Penghasilan.
2.
Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni
2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan
ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali
diubah
terakhir dengan Undang-Undang ini.
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
...
-
40 -
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 23 September 2008
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 23 September 2008
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala
Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang
Perekonomian dan Industri,
SETIO
SAPTO NUGROHO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar