Rabu, 06 Maret 2013

MENGENAL UNDANG UNDANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

 

a. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang

semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang

netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan

lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta

transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan;

 

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang

Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1983 tentang Pajak Penghasilan;

 

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4740);

 

3. Undang-Undang ...

- 2 -

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK

PENGHASILAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah

dengan Undang-Undang:

a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3459);

b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3567);

c. Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3985);

diubah ...

- 3 -

diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah

sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana

tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1

Undang-Undang ini.

2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan

di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni

ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:

a. 1. orang pribadi;

2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan

menggantikan yang berhak;

b. badan; dan

c. bentuk usaha tetap.

(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang

perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek

pajak badan.

(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam

negeri dan subjek pajak luar negeri.

(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:

a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,

orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari

183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka

waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi

yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia

dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di

Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di

Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan

pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya ...

- 4 -

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran

Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat

pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan

menggantikan yang berhak.

(4) Subjek pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di

Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia

tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan

badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha

atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha

tetap di Indonesia; dan

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di

Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia

tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan

badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima

atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak

dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang

dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat

tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh

tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan

badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

a. tempat kedudukan manajemen;

b. cabang perusahaan;

c. kantor perwakilan;

d. gedung kantor;

e. pabrik;

f. bengkel;

g. gudang;

h. ruang untuk promosi dan penjualan;

i. pertambangan dan penggalian sumber alam;

j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

k. perikanan, ...

- 5 -

k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,

atau kehutanan;

l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai

atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60

(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua

belas) bulan;

n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang

kedudukannya tidak bebas;

o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang

tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia yang menerima premi asuransi atau

menanggung risiko di Indonesia; dan

p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis

yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh

penyelenggara transaksi elektronik untuk

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan

badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut

keadaan yang sebenarnya.

3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni

ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 adalah:

a. kantor perwakilan negara asing;

b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat

atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan

orang-orang yang diperbantukan kepada mereka

yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama

mereka dengan syarat bukan warga negara

Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau

memperoleh penghasilan di luar jabatan atau

pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan

memberikan perlakuan timbal balik;

c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:

1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

dan

2. tidak ...

- 6 -

2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain

untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia

selain memberikan pinjaman kepada pemerintah

yang dananya berasal dari iuran para anggota;

d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional

sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan

syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak

menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain

untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek

pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c

ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l,

dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf,

yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat

(3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah,

huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l,

huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 4

(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu

setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat

dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah

kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama

dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan

pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh

termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,

komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau

imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan

lain dalam Undang-undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,

dan penghargaan;

c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena

pengalihan harta termasuk:

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada

perseroan, persekutuan, dan badan lainnya

sebagai pengganti saham atau penyertaan

modal;

2. keuntungan ...

- 7 -

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada

pemegang saham, sekutu, atau anggota yang

diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan

lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan,

peleburan, pemekaran, pemecahan,

pengambilalihan usaha, atau reorganisasi

dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa

hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang

diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat dan badan

keagamaan, badan pendidikan, badan sosial

termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi

yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang

ketentuannya diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak

ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak

yang bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan

sebagian atau seluruh hak penambangan,

tanda turut serta dalam pembiayaan, atau

permodalan dalam perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah

dibebankan sebagai biaya dan pembayaran

tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan

karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,

termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta;

j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali

sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n. premi asuransi;

o. iuran …

- 8 -

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan

dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang

menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari

penghasilan yang belum dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang yang mengatur mengenai

ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

s. surplus Bank Indonesia.

(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat

final:

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan

lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,

dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh

koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

b. penghasilan berupa hadiah undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas

lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di

bursa, dan transaksi penjualan saham atau

pengalihan penyertaan modal pada perusahaan

pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal

ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa

tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi,

usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau

bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya,

yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang

diterima oleh badan amil zakat atau lembaga

amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah dan yang diterima oleh penerima

zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan

yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang

diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga

keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah dan yang diterima oleh penerima

sumbangan yang berhak, yang ketentuannya

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Pemerintah; dan

2. harta …

- 9 -

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu

derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,

badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau

orang pribadi yang menjalankan usaha mikro

dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,

pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara

pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh

badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai

pengganti penyertaan modal;

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan

pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh

dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari

Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang

diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang

dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang

menggunakan norma penghitungan khusus

(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal

15;

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada

orang pribadi sehubungan dengan asuransi

kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,

asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

f. dividen atau bagian laba yang diterima atau

diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak

dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,

atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan

modal pada badan usaha yang didirikan dan

bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1. dividen berasal dari cadangan laba yang

ditahan; dan

2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik

negara dan badan usaha milik daerah yang

menerima dividen, kepemilikan saham pada

badan yang memberikan dividen paling rendah

25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal

yang disetor;

g. iuran …

- 10 -

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun

yang pendiriannya telah disahkan Menteri

Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja

maupun pegawai;

h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana

pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,

dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan

dengan Keputusan Menteri Keuangan;

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota

dari perseroan komanditer yang modalnya tidak

terbagi atas saham-saham, persekutuan,

perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk

pemegang unit penyertaan kontrak investasi

kolektif;

j. dihapus;

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh

perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari

badan pasangan usaha yang didirikan dan

menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,

dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1. merupakan perusahaan mikro, kecil,

menengah, atau yang menjalankan kegiatan

dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan; dan

2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek

di Indonesia;

l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu

yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau

lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang

pendidikan dan/atau bidang penelitian dan

pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi

yang membidanginya, yang ditanamkan kembali

dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan

pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4

(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih

tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan; dan

n. bantuan …

- 11 -

n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib

Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan.

5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan

huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i

sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal

6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak

dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan

berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk

mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,

termasuk:

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung

berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:

1. biaya pembelian bahan;

2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa

termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,

gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan

dalam bentuk uang;

3. bunga, sewa, dan royalti;

4. biaya perjalanan;

5. biaya pengolahan limbah;

6. premi asuransi;

7. biaya promosi dan penjualan yang diatur

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan;

8. biaya administrasi; dan

9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh

harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran

untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal

11A;

c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya

telah disahkan oleh Menteri Keuangan;

d. kerugian …

- 12 -

d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta

yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan

atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,

dan memelihara penghasilan;

e. kerugian selisih kurs mata uang asing;

f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan

yang dilakukan di Indonesia;

g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih

dengan syarat:

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan

laba rugi komersial;

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang

yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat

Jenderal Pajak; dan

3. telah diserahkan perkara penagihannya

kepada Pengadilan Negeri atau instansi

pemerintah yang menangani piutang negara;

atau adanya perjanjian tertulis mengenai

penghapusan piutang/pembebasan utang

antara kreditur dan debitur yang

bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam

penerbitan umum atau khusus; atau adanya

pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah

dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3

tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak

tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;

yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

i. sumbangan dalam rangka penanggulangan

bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah;

j. sumbangan dalam rangka penelitian dan

pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya

diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan

m. sumbangan …

- 13 -

m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

yang ketentuannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian,

kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan

mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai

dengan 5 (lima) tahun.

(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri

diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena

Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 7

(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan

paling sedikit sebesar:

a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus

empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak

orang pribadi;

b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh

ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang

kawin;

c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus

empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang

isteri yang penghasilannya digabung dengan

penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1); dan

d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh

ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota

keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam

garis keturunan lurus serta anak angkat, yang

menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3

(tiga) orang untuk setiap keluarga.

(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau

awal bagian tahun pajak.

(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan

dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

7. Ketentuan …

- 14 -

7. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan

Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 8

(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang

telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal

bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang

berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum

dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian

suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata

diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang

telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21

dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan

usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota

keluarga lainnya.

(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah

apabila:

a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan

putusan hakim;

b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri

berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan

penghasilan; atau

c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk

menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya

sendiri.

(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak

berdasarkan penggabungan penghasilan neto suamiisteri

dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh

masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan

perbandingan penghasilan neto mereka.

(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan

penghasilan orang tuanya.

8. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta

Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 9 ...

- 15 -

Pasal 9

(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak

bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap

tidak boleh dikurangkan:

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk

apapun seperti dividen, termasuk dividen yang

dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi;

b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk

kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau

anggota;

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan,

kecuali:

1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha

bank dan badan usaha lain yang menyalurkan

kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,

perusahaan pembiayaan konsumen, dan

perusahaan anjak piutang;

2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk

cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3. cadangan penjaminan untuk Lembaga

Penjamin Simpanan;

4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha

pertambangan;

5. cadangan biaya penanaman kembali untuk

usaha kehutanan; dan

6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan

tempat pembuangan limbah industri untuk

usaha pengolahan limbah industri,

yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,

asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea

siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,

kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi

tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib

Pajak yang bersangkutan;

e. penggantian ...

- 16 -

e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan

pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk

natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan

makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta

penggantian atau imbalan dalam bentuk natura

dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang

berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan;

f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan

kepada pemegang saham atau kepada pihak yang

mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,

dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang

diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil

zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah atau sumbangan keagamaan yang

sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di

Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan

yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,

yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Pemerintah;

h. Pajak Penghasilan;

i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk

kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang

menjadi tanggungannya;

j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,

firma, atau perseroan komanditer yang modalnya

tidak terbagi atas saham;

k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan

kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang

berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan

di bidang perpajakan.

(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang mempunyai masa

manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan

untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan

melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

9. Ketentuan ...

- 17 -

9. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan

ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian,

pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan

harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,

hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,

yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai

masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam

bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat

yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan,

dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang

menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan

cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku,

dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku

disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara

taat asas.

(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya

pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam

proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan

selesainya pengerjaan harta tersebut.

(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib

Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai

pada bulan harta tersebut digunakan untuk

mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai

menghasilkan.

(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva

berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah

nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva

tersebut.

(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif

penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok ...

- 18 -

Tarif Penyusutan sebagaimana

dimaksud dalam

Kelompok Harta

Berwujud

Masa

Manfaat

Ayat (1) Ayat (2)

I. Bukan bangunan

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

II. Bangunan

Permanen 20 tahun 5%

Tidak Permanen 10 tahun 10%

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta

berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang

usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri

Keuangan.

(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d

atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka

jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan

sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau

penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh

dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya

penarikan harta tersebut.

(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima

jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa

kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal

Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud

pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian

tersebut.

(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a

dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah

nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan

sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta

berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana

dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan

Menteri Keuangan.

10. Ketentuan ...

- 19 -

10. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah

serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat,

yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A

(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta

tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya

perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,

hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai

masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang

dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan dilakukan dalam bagianbagian

yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang

menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan

cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran

tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa

manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat

dilakukan secara taat asas.

(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya

pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri

Keuangan.

(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif

amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Tarif Amortisasi berdasarkan

Kelompok Harta metode

Tak Berwujud

Masa Manfaat

Garis

Lurus

Saldo

Menurun

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya

perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada

tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai

dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2).

(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak

dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat

lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan

minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan

metode satuan produksi.

(5) Amortisasi …

- 20 -

(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak

penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak

pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber

alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa

manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan

menggunakan metode satuan produksi setinggitingginya

20% (dua puluh persen) setahun.

(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial

yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)

tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai

dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2).

(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau

hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat

(4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hakhak

tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah

yang diterima sebagai penggantian merupakan

penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.

(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a

dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka

jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh

dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang

mengalihkan.

11. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7)

serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk

menentukan penghasilan neto, dibuat dan

disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh

Direktur Jenderal Pajak.

(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan

usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya

dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00

(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh

menghitung penghasilan neto dengan menggunakan

Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dengan syarat

memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak

dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun

pajak yang bersangkutan.

(3) Wajib ...

- 21 -

(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang

menghitung penghasilan netonya dengan

menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur

mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang

tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak

untuk menghitung penghasilan neto dengan

menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,

dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan

atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata

tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan

pencatatan atau pembukuan atau tidak

memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti

pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung

berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain

yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan.

(6) Dihapus.

(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri

Keuangan.

12. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan

Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif

bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun

pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari

penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1),

serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan

huruf g.

(2) Penghasilan ...

- 22 -

(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi

dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

dihitung dengan menggunakan norma penghitungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk

Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan

Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1).

(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri

yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam

suatu tahun pajak dihitung dengan cara

mengurangkan dari penghasilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan

ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat

(3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1)

huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.

(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi

dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian

tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A

ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang

diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang

disetahunkan.

13. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan

Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di

antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni

ayat (2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena

Pajak bagi:

a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah

sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

sampai dengan Rp50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah)

5%

(lima persen)

di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) sampai dengan

Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah)

15%

(lima belas persen)

di atas ...

- 23 -

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus

lima puluh juta rupiah) sampai

dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah)

25%

(dua puluh lima

persen)

di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah)

30%

(tiga puluh persen)

b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk

usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh

delapan persen).

(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%

(dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai

berlaku sejak tahun pajak 2010.

(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk

perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat

puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang

disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan

memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat

memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih

rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen

yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi

dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10%

(sepuluh persen) dan bersifat final.

(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif

sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan

Keputusan Menteri Keuangan.

(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena

Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah

penuh.

(5) Besarnya …

- 24 -

(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang

pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian

tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian

tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam

puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1

(satu) tahun pajak.

(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh

dihitung 30 (tiga puluh) hari.

(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif

pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak

melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut

pada ayat (1).

14. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan

ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4)

disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan

ayat (3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan

keputusan mengenai besarnya perbandingan antara

utang dan modal perusahaan untuk keperluan

penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat

diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri

atas penyertaan modal pada badan usaha di luar

negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di

bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam

negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh

persen) dari jumlah saham yang disetor; atau

b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam

negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling

rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah

saham yang disetor.

(3) Direktur …

- 25 -

(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk

menentukan kembali besarnya penghasilan dan

pengurangan serta menentukan utang sebagai modal

untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak

bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa

dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran

dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh

hubungan istimewa dengan menggunakan metode

perbandingan harga antara pihak yang independen,

metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,

atau metode lainnya.

(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan

perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama

dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk

menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa sebagaimana

dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu

periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta

melakukan renegosiasi setelah periode tertentu

tersebut berakhir.

(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau

aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang

dibentuk untuk maksud demikian (special purpose

company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang

sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang

Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan

istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan

terdapat ketidakwajaran penetapan harga.

(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara

(conduit company atau special purpose company) yang

didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang

memberikan perlindungan pajak (tax haven country)

yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan

yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan

sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang

didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau

bentuk usaha tetap di Indonesia.

(3d) Besarnya …

- 26 -

(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak

orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang

memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan

di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal

pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian

penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran

lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang

tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia tersebut.

(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan.

(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f,

dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:

a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal

langsung atau tidak langsung paling rendah 25%

(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;

hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan

paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada

dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di

antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut

terakhir;

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau

dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah

penguasaan yang sama baik langsung maupun

tidak langsung; atau

c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah

maupun semenda dalam garis keturunan lurus

dan/atau ke samping satu derajat.

(5) Dihapus.

15. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19 …

- 27 -

Pasal 19

(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan

tentang penilaian kembali aktiva dan faktor

penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara

unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena

perkembangan harga.

(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak

tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan

sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

16. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat

(8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1

(satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama

dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau

diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib

dilakukan oleh:

a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain

sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan

yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain

sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau

kegiatan;

c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan

uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama

apa pun dalam rangka pensiun;

d. badan yang membayar honorarium atau

pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan

dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang

melakukan pekerjaan bebas; dan

e. penyelenggara kegiatan yang melakukan

pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan

suatu kegiatan.

(2) Tidak …

- 28 -

(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib

melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara

asing dan organisasi-organisasi internasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang

dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah

penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya

jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan

dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun,

dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai

tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah

penghasilan bruto setelah dikurangi bagian

penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang

besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Keuangan.

(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf

a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan

Pemerintah.

(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20%

(dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan

terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor

Pokok Wajib Pajak.

(6) Dihapus.

(7) Dihapus.

(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan

pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

17. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta

ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22 …

- 29 -

Pasal 22

(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:

a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak

sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan

barang;

b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak

dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di

bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;

dan

c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut

pajak dari pembeli atas penjualan barang yang

tergolong sangat mewah.

(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat,

dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

(3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%

(seratus persen) daripada tarif yang diterapkan

terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor

Pokok Wajib Pajak.

18. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c

diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah

1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan

ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga

Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama

dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan,

disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo

pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak

badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk

usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri

lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk

usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib

membayarkan:

a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto

atas:

1. dividen …

- 30 -

1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (1) huruf g;

2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (1) huruf f;

3. royalti; dan

4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya

selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat

(1) huruf e;

b. dihapus;

c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

1. sewa dan penghasilan lain sehubungan

dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan

penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta yang telah dikenai Pajak

Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (2); dan

2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa

manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,

dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong

Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 21.

(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau

memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,

besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%

(seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan.

(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat

ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk

memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) tidak dilakukan atas:

a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada

bank;

b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan

dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;

c. dividen …

- 31 -

c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh

orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

17 ayat (2c);

d. dihapus;

e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (3) huruf i;

f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh

koperasi kepada anggotanya;

g. dihapus; dan

h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada

badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi

sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan

yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

19. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga

Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas

penghasilan dari luar negeri yang diterima atau

diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan

terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undangundang

ini dalam tahun pajak yang sama.

(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang

dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh

melebihi penghitungan pajak yang terutang

berdasarkan Undang-undang ini.

(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh

dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai

berikut:

a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya

serta keuntungan dari pengalihan saham dan

sekuritas lainnya adalah negara tempat badan

yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut

didirikan atau bertempat kedudukan;

b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa

sehubungan dengan penggunaan harta gerak

adalah negara tempat pihak yang membayar atau

dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut

bertempat kedudukan atau berada;

c. penghasilan …

- 32 -

c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan

penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat

harta tersebut terletak;

d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan

jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara

tempat pihak yang membayar atau dibebani

imbalan tersebut bertempat kedudukan atau

berada;

e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara

tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan;

f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau

seluruh hak penambangan atau tanda turut serta

dalam pembiayaan atau permodalan dalam

perusahaan pertambangan adalah negara tempat

lokasi penambangan berada;

g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah

negara tempat harta tetap berada; dan

h. keuntungan karena pengalihan harta yang

menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap

adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan

prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud

pada ayat tersebut.

(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang

dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau

dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut

Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah

tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian

itu dilakukan.

(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak

atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

20. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat

(7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara

ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a)

sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25 ...

- 33 -

Pasal 25

(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan

yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk

setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang

terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan

Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi

dengan:

a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta

Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 22; dan

b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di

luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24,

dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam

bagian tahun pajak.

(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri

oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan

disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama

dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir

tahun pajak yang lalu.

(3) Dihapus.

(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat

ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu,

besarnya angsuran pajak dihitung kembali

berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan

berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan

penerbitan surat ketetapan pajak.

(5) Dihapus.

(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan

penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun

pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:

a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;

b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak

teratur;

c. Surat …

- 34 -

c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan

tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas

waktu yang ditentukan;

d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu

penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan

Pajak Penghasilan;

e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang

mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar

dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan

f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan

Wajib Pajak.

(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan

besarnya angsuran pajak bagi:

a. Wajib Pajak baru;

b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha

milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan

Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan harus membuat

laporan keuangan berkala; dan

c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu

dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh

puluh lima persen) dari peredaran bruto.

(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia

21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri

wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)

berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.

(9) Dihapus.

21. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua)

huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan

ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1

(satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat

(3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26 …

- 35 -

Pasal 26

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama

dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan,

disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo

pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak

dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha

tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha

tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua

puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib

membayarkan:

a. dividen;

b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan

sehubungan dengan jaminan pengembalian

utang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan

dengan penggunaan harta;

d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan

kegiatan;

e. hadiah dan penghargaan;

f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;

dan/atau

h. keuntungan karena pembebasan utang.

(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain

yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara

tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak

luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari

penghasilan tersebut (beneficial owner).

(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta

di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat

(2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar

negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan

premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan

asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh

persen) dari perkiraan penghasilan neto.

(2a) Atas …

- 36 -

(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan

saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat

(3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)

dari perkiraan penghasilan neto.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari

suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak

sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan

tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang

ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final,

kecuali:

a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan

huruf c; dan

b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau

diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri

yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam

negeri atau bentuk usaha tetap.

22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 29

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak

ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran

pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

23. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 31A …

- 37 -

Pasal 31A

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal

di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah

tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam

skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan

dalam bentuk:

a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30%

(tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang

dilakukan;

b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;

c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak

lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan

d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar

10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut

perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan

lebih rendah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha

tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang

mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta

pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

24. Pasal 31B dihapus.

25. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31C

(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi

dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang

dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan

80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk

Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.

(2) Dihapus.

26. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal,

yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 31D ...

- 38 -

Pasal 31D

Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha

pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas

bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk

batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31E

(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran

bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh

miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan

tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b

dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena

Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan

Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta

rupiah).

(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan

Peraturan Menteri Keuangan.

27. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 32

Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan

dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan.

28. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal,

yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32B ...

- 39 -

Pasal 32B

Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau

diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain

berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan

negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

29. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 35

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan

Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal II

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

1. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30

Juni 2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan

ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan.

2. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30

Juni 2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan

ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar ...

- 40 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

SETIO SAPTO NUGROHO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar